Hanas: Tangan yang Tak Kelihatan
Tab primer
Dalam panggung politik, kita mengenal istilah “tangan-tangan yang tak kelihatan” yaitu sebuah kondisi yang menunjukkan sosok yang sangat berpengaruh besar, tapi bermain di belakang layar. Orang ini memiliki pengaruh dan kekuasaan yang sangat besar, sehingga mampu menekan penguasa yang sedang menjabat untuk memenuhi keinginannya.
Dalam kitab Perjanjian Baru, kita menemukan tokoh yang sesuai dengan gambaran seperti itu, yaitu Hanas. Pernahkah Anda bertanya dalam hati, mengapa setelah Yesus ditangkap di taman Getsemane, Dia dibawa menghadap Hanas? Padahal jabatan Imam Besar saat itu dipegang oleh Kayafas. Siapakah Hanas itu?
Hanas adalah anak Set. Menurut OLB Lexicon-Greek, nama Hanas berarti “rendah hati.” Menurut Westcott and Hort, Hanas adalah nama Yunani untuk “chanan” (bahasa Ibrani). Artinya adalah "murah hati” dan “ramah”. Sedangkan menurut Ensiklopedi Perjanjian Baru, Hanas memiliki padanan kata Hananya yang berarti “Tuhan telah berbelas kasihan.”
Akan tetapi perilaku sehari-hari Hanas justru bertolak belakang dengan makna namanya yang sangat indah. Debut Hanas di bidang politik dan keagamaan dimulai pada usia 37 tahun saat diangkat menjadi Imam Besar oleh Sulpicius Quirinus, Gubernur Siria (tahun 6 M). Dia menggantikan Yoasar.
Setelah menjabat kurang lebih sepuluh tahun, jabatannya dicopot oleh Velerius Gratus yang menjabat prokurator Yudea, pada awal pemerintahan kaisar Tiberius. Jabatan Imam Besar dialihkan kepada Ismail bin Fabi. Tak lama kemudian, wangsa Hanas berhasil mendapatkan kembali jabatan ini. Kali ini dijabat oleh Eliezer, anaknya (kemungkinan sama dengan Aleksander dalam Kisah 4:6). Namun hal ini tidak berlangsung lama karena kursi Imam Besar kemudian diduduki oleh Simon, anak Kamithus. Kelihaian Hanas kembali terbukti dengan mendudukkan anggota keluarganya kepada jabatan Imam Besar, tahun 18 M. Kali ini yang menjabat adalah Kayafas, anak menantunya.
Pada masa jabatan Kayafas ini, Yesus memulai dan mengakhiri masa pelayanan-Nya yang singkat di dunia. Ketika konspirasi antara pemuka agama dan Yudas berhasil menangkap Yesus, mereka lebih dulu menghadapkan tawanan mereka itu kepada Hanas. Ini sungguh ganjil karena yang menjabat Imam Besar pada saat itu adalah Kayafas. Namun mereka malah menggelandang Yesus ke hadapan ayah mertua Kayafas, yaitu Hanas.
Di sini, Hanas melakukan penyelidikan pendahuluan sebelum mengirimkannya kepada Kayafas. Peristiwa pemeriksaan ini hanya tercatat dalam kitab Yohanes. Sedangkan Injil Sipnotik lainnya tidak menyebutkan peristiwa ini. Kemungkinan besar karena para penulis Injil Sipnotik menganggap bahwa pemeriksaan ini hanya bersifat informal, jadi mereka merasa tidak perlu mencatatnya. Pemeriksaan awal dilakukan untuk mengumpulkan bukti-bukti yang akan dipakai dalam pengadilan yang formal(Yoh. 18:13-14).
Sekalipun itu hanya pemeriksaan informal, namun di sinilah titik awal yang menentukan arah seluruh proses selanjutnya. Sebab sesudah diinterogasi oleh Hanas, Kayafas hanya tinggal mengajukan permohonan resmi kepada Pilatus, supaya Yesus dihukum mati.
*****
Pemeriksaan yang dilakukan oleh Hanas menunjukkan betapa kuat pengaruh kekuasaan yang dimiliki oleh Hanas. Indikasi kekuatan Hanas yang lain berupa penyebutan namanya, yang mendahului nama Kayafas, pejabat resmi Imam Besar.
“Pada waktu Hanas dan Kayafas menjadi Imam Besar, datanglah firman Allah kepada Yohanes, anak Zakharia, di padang gurun” (Lukas 3:2).
“Dengan Imam Besar Hanas dan Kayafas, Yohanes dan Alexander dan semua orang lain yang termasuk keturunan Imam Besar” (Kisah 4:6).
Beberapa ahli menganalisis, meskipun pemerintah Romawi hanya mengakui Kayafas sebagai Imam Besar yang resmi, namun Hanas karena pengaruh pribadinya yang kuat mampu mengambil bagian kekuasaan secara praktis. Hanas memiliki pengalaman, kemampuan dan kekuatan karakter yang mampu melampaui kekuasaan resmi Kayafas. Secara de jure, jabatan dipegang oleh Kayafas, tetapi secara de facto, praksis kekuasaan dijalankan oleh mertuanya. Kayafas hanya menjadi boneka Hanas.
Sumber kekuasaan Hanas lainnya adalah dari tradisi Yahudi. Menurut hukum Musa jabatan Imam Besar jabatan seumur hidup. Sekalipun Hanas tidak menjabat Imam Besar secara resmi, namun masyarakat tetap mengakuinya sebagai “Imam Besar.”
Sejarahwan Yahudi, Yosephus melukiskan karakter yang dimiliki oleh Hanas ini. Sebagaimana umumnya kaum aristokrat Saduki, Hanas memiliki sifat yang arogan, cerdik, ambisius dan kaya. Dia dan keluarganya sangat dikenal kemaruk alias tamak.
Sumber kekayaannya ini berasal dari hasil perdagangan hewan korban untuk bait Allah, seperti domba, merpati, anggur dan minyak. Anak-anaknya mendirikan “perusahaan” yang memegang monopoli perdagangan hewan korban. Mereka telah merampok uang rakyat, karena mematok harga yang terlalu tinggi. Itu sebabnya Yesus menjadi murka dan mengobrak-abrik pasar hewan tersebut. Yesus marah karena mereka telah menjadikan rumah doa sebagai sarang penyamun, sebuah tempat untuk mengeruk keuntungan pribadi. Kitab Talmud malah menuliskan kutukan terhadap keluarga Hanas, "Celakalah keluarga Hanas! Celakalah hai ular beludak" (Pes 57a).
“Rumah Hanas", yang sangat kaya dan tidak bermoral itu, dikutuk di dalam Talmud, sebagai "pemimpin para imam yang korup", yang kehadirannya telah mencemari tempat suci (Edersheim, Life and Times of Jesus the Messiah I, 263 f.).
*****
Kelihaian Hanas dalam bidang politik keagamaan tidak hanya berhenti pada Kayafas saja. Setelah anak menantunya itu, Hanas berhasil menempatkan keempat anak laki-lakinya yang lain sebagai Imam Besar. Masing-masing adalah:
Yonatan (tahun 36–37 dan 44)
Teofilus (tahun 37–41)
Matias (tahun 43)
Hanas II bin Hanas (tahun 63)
Yosephus menulis: “Banyak orang mengatakan bahwa imam besar Hanas adalah orang yang sangat kaya. Dia memiliki lima anak laki-laki, yang selain dirinya, juga menjabat Imam Besar dalam periode waktu yang lama, sebuah hal yang belum pernah terjadi dalam jabatan Imam Besar kita.” " (Jewish Antiquities XX, 9.1)
Dari sejarah diketahui bahwa semasa berkuasanya wangsa Hanas, umat Kristen kehilangan tokoh-tokohnya yang penting. Wangsa Hanas tampaknya sangat membenci Yesus dan para pengikut-Nya. Setelah Yesus, umat Kristen kehilangan Stefanus (martir pertama). Hanas, yang saat itu menjabat pimpinan Sanhedrim, hadir untuk mengadili Petrus dan Yohanes (Kis. 4:6).
Namun dia tidak sempat melihat anaknya yang kelima, Hanas II, menjabat Imam Besar karena keburu meninggal. Hanas yunior ini yang menghukum mati Yakobus, saudara Yesus, dengan dirajam dengan batu sampai mati.
Dari sejarah pula kita dapat belajar bahwa nafsu terhadap kekuasaan dan kekayaan dapat membutakan hati nurani manusia. Meskipun dalam pekerjaan dan jabatannya, Hanas dekat sekali dengan nilai-nilai moral dan religi, tapi hal itu tidak dijadikannya penuntun dalam kehidupannya. Dia justru memilih cara-cara yang tak bermoral. Dia bahkan menggunakan jalan kekerasan untuk menghalau orang-orang yang menghalangi jalan untuk melanggengkan kekuasaannya.
Namun kita mendapat pelajaran juga bahwa tindakan seperti itu tidak akan pernah langgeng. Kekuasaan, harta dan kehormatan akan berlalu. Semua hal yang kelihatan di dunia ini hanya bersifat semu. Semuanya akan lenyap sebagaimana rumput kering. Akan tetap iman dan keyakinan akan abadi. Kekerasan tidak akan pernah dapat memadamkan keyakinan dan iman seseorang. Meski mendapat represi yang dahsyat tetapi para pengikut Kristus tetap meyakini iman mereka. Api Injil ini akan terus merambat dan membakar dunia. Mungkin untuk sesaat, api itu dapat dipadamkan, tapi api itu pasti muncul lagi. Kalau tidak di tempat tersebut dapat dipadamkan, tapi api itu pasti akan muncul di tempat lain. Ini akan berlanjut hingga mencapai ujung dunia.
Referensi:
Easton’s Revised Bible Dictionary
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Yayasan Komunikasi Bina Kasih /OMF)
International Standard Bible Encyclopedia
Smith’s Revised Bible Dictionary
Stefan Leks, tafsir Injil Matius, Tafsir Sipnotik, Kanisius
Purnawan Kristanto adalah penulis buku “Tuhan Yesus tidak Tidur”, diterbitkan Andi, Yogyakarta