Petrus
Tab primer
Ditulis oleh: Sih Ell Mirmaningrum
Pada suatu hari, bersama kawan-kawanku sepeninggal Guru, aku tercenung di bibir pantai, merenungi kembali masa lalu tatkala aku dan Yohanes, anak Paman Zebedeus, sedang menjala ikan dan Guru datang memanggil kami, sepertinya waktu itu Guru berkata, "Ikutlah Aku, kamu akan kujadikan penjala manusia". Kini, Dia yang akan menjadikan kami penjala manusia itu telah pergi, jauh meninggalkan kami tanpa memberi tahu bagaimana teknik menjala manusia. Yang kami tahu hanya bagaimana menjala ikan karena itu memang pekerjaan kami. Tidak ada lagi gunanya kami meninggalkan jala dan perahu kami padahal tidak ada yang bisa kami kerjakan karena Guru sudah mati. Bagaimana dengan anak istri kami kalau kami hanya duduk termenung bersedih seperti ini? Tidakkah lebih baik bagi kami untuk kembali membersihkan perahu, menata jala, dan mengarungi lautan seperti dulu? Bukankah itu lebih menghasilkan daripada duduk terdiam begini? Ya ... itulah yang akan kulakukan, mumpung ini musim ikan berkumpul.
Aku mulai melangkahkan kaki meninggalkan tempat dudukku, dan kulihat mereka mulai mengikutiku. Yohanes, Tomas, Natanael, anak anak Paman Zebedeus juga mulai berlari kencang, mereka tahu niatanku menuju perahu itu dan mulai kembali menjala seperti dulu. Kehidupan laut yang 3 tahun terakhir ini telah kami tinggalkan, kini terhampar luas seakan melambaikan tangannya kepada kami. Terbayang ikan-ikan yang menggelepar di jala kami, raut wajah lelah namun puas setiap kali kami menangkap ratusan ikan di jala. Terbayang sudah raut wajah ceria anak-anak menyambut ikan-ikan segar dan raut gembira istri kami menyambut gemerincing uang.
Maka, jadilah kami melaut. Namun, hiruk-pikuk teman-teman dalam perahu itu memutuskan lamunanku, yeachhhhh .... Berjam jam kami lewati dalam perahu itu, bahkan kami menyaksikan puluhan perahu yang telah melipat layar dan menghela jala mereka dengan puluhan ekor ikan di dalamnya. Namun kami, tak satu pun ikan kecil yang masuk ke jala kami, seakan tak ada satu pun ikan di danau luas ini. Hiruk-pikuk tanda kelelahan dan keputusasaan kawan-kawan menyebabkan kami akhirnya terduduk di perahu, tanpa ada satu pun yang menarik ulur jala itu. Apa salah kami? Dulu, seapes apa pun kami, tidak pernah kami mendapati diri pulang tanpa seekor ikan pun. Namun, ini? Menjala manusia tak juga mengerti, menjala ikan, kami pikir keahlian kami berpuluh tahun sebelum mengikuti Guru tak akan menghapus kebiasaan yang berubah dalam 3 tahun ini. Ternyata?
Tiba tiba, terdengar suara dari pantai "Hoooiiiii, Nak .... Apakah kalian mempunyai lauk?". Hati kami mulai bergetar, namun ada sedikit dongkol di hari tatkala seseorang tak memahami apa yang menimpa kami. Ahhh dasar pria tak tahu, dia pikir kami berhasil malam ini. Tidak .... Lalu, salah satu dari kami berteriak, "Tidakkkkk .... Kami tak punya, Pak. Tak ada satu pun ikan yang kami tangkap."
"Bukan begitu caranya, Nak. Lemparkan jalamu ke sebelah kanan perahu". Ah ... benar benar orang yang aneh. Siapa dia kok sok tahu dan mengajari kami, para nelayan sejati ini? Akan tetapi, ternyata teman-temanku menuruti kata-kata pria yang tak kami kenal itu. Ah biarlah dia dan mereka tahu bahwa apa yang diajarkannya omong kosong jika nanti tak satu pun ikan "nyangkut" di jala kami.
Namun, terdengar napas berat di antara kami. Ah ternyata teman-teman bekerja begitu keras menghela jala itu. Sampai salah satu berteriak padaku, "Petrus, apa yang kau lihat ... bantu kami segera ... ayo." Serta-merta, aku bangkit dan turut menghela jala itu, hingga kami terhenyak dengan banyaknya ikan yang menggelepar dalam jala kami. Hatiku tergerak untuk menengok ke arah dia yang berteriak memberi kami komando tadi. Siapakah dia? Seorang temanku berbisik, "Lihat, itu Guru ...!" Wah ... rupanya semua keadaan ini membuat kami gila. Kehilangan Guru sangat mengacaukan kami memang, tetapi kami tak boleh menjadi gila karenanya. Kami harus sadar bahwa Guru sudah kembali ke rumah Bapa-Nya dan kami harus melanjutkan kembali kehidupan kami. Heiii .... Ternyata yang lain pun terdiam, menengok ke arah yang ditunjukkan temanku tadi dan juga berbisik, "Sepertinya benar, itu Guru." Itu membuatku tergerak untuk menengok dan melihat-Nya.
Aku tak tahan lagi kali ini. Maka, aku mengenakan bajuku dan menceburkan diri ke danau itu lalu berrenang secepatnya menuju ke pantai demi melihat apa benar Dia Guru yang kami rindukan.
Dengan terengah-engah, akhirnya aku sampai di bibir pantai. Di sana, aku lihat Dia, dengan panggangan ikan di depan-Nya, menatapku. Sepertinya, Dia memperhatikanku sejak aku menceburkan diri dan berenang di danau beberapa menit yang lalu.
Aku tak berani menatap-Nya. Aku ingat beberapa waktu yang lalu, tepatnya di malam ketika Dia ditangkap, aku meyakinkan-Nya bahwa tak akan sekalipun aku meninggalkan-Nya, seberat apa pun masalah yang aku hadapi, sesulit apa pun hidupku karena mengikut Dia, takkan sekalipun kutinggalkan Dia. Itu janjiku. Ketika itu, Dia hanya menatapku sambil lirih mengingatkanku, "Petrus, lihat Iblis sedang mengintipmu, hari ini tak akan ada ayam berkokok sebelum kamu menyangkal Aku tiga kali. Namun, kuatkan hatimu dan kuatkan hati kawan-kawanmu ketika kelak Allah telah menguatkanmu."
Dan, subuh itulah hatiku hancur, menyadari tatapan-Nya tepat ketika ayam jantan berkokok, benar kata-Nya, aku benar mengingat-Nya, "Sebelum ayam jantan berkokok kamu telah tiga kali menyangkal Aku."
Subuh ini, aku bertemu Dia kembali. Subuh ini, Dia menatapku seperti saat itu. Namun, kali ini aku tak mampu mendekati-Nya. Bukan karena lelah berenang mengarungi danau ini, tetapi karena aku tak yakin Dia menerimaku kembali setelah penyangkalanku malam itu.
Andaikan malam itu aku tak menyangkal Dia, tetapi berani dengan tegar menyertai-Nya dalam penyiksaan-Nya, setidaknya bukankah itu meringankan Dia meski tidak secara fisik? Paling tidak, andaikan aku berani hadir menemani-Nya, Dia tak akan menanggung derita itu sendiri. Namun, betapa bodohnya aku, alih-alih menemani-Nya, aku justru menyangkal telah mengenal-Nya. Tentu saja, Dia kecewa. Tentu saja, Dia tak ingin mempunyai murid seperti aku. Padahal, dulu ke mana pun Dia pergi, aku selalu menjadi salah satu yang menyertai-Nya. Ya Allah, ampuni aku.
"Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?"
Tiba-tiba Dia berada di depanku dan bertanya demikian. Apa yang harus kujawab? Aku mengasihi-Nya, tetapi aku sadar kasih yang kumiliki kemarin gagal kurealisasikan dengan segenap hati. Aku malah menyangkal-Nya, dan Dia tahu itu. Haruskah aku diam saja? Maka, dengan terbata aku menjawab, "Engkau tahu bahwa aku mencintai Engkau."
"Apakah kamu mencintai Aku?"
Lha ... mengapa Guru mengulang pertanyaan itu? Mungkinkah aku tadi hanya menjawab-Nya dalam hati sehingga Dia tak mendengar-Nya? Maka, aku pun menjawab-Nya, "Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau." Eee ... tunggu dulu, mengapa Dia menyampaikan pertanyaan-Nya kali ini dengan mengulang pernyataan cinta, bukan lagi kasih seperti yang dikehendaki-Nya terdahulu?
"Apakah kamu mencintai Aku?"
Aku terkejut kali ini. Aku yakin bahwa aku sudah ngomong dengan mulutku di hadapan-Nya tadi. Tidak hanya sekali, tetapi dua kali. Jawaban itu kuungkapkan. Namun, mengapa Dia bertanya lagi? Mengapa Dia menanyakan cintaku kembali? "Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu bahwa aku mencintai Engkau." Aku yakin Dia tahu seberapa kasih yang kupunya. Aku yakin Dia pun tahu bahwa aku tak mampu mengasihi-Nya.
Aku hanya mampu mencintai dengan cinta tak sempurna yang kupunya. Kalaupun itu masih terbalut dosa penyangkalanku dan Dia tak berkenan menerima pernyataan cinta yang kupunya, aku tak tahu lagi ke mana aku harus pergi. Aku sadar, sekarang tak ada lagi perasaan nyaman, aman, damai, dan sejahtera tanpa Dia. Bahkan, ketika aku pergi dengan penyesalan ini menjauh dari Dia, aku semakin merasakan keterpurukkan ini. Aku tak pernah bahagia dalam kesendirianku, tanpa Dia dalam hatiku. Satu hal yang harus kusadari kini adalah aku harus kembali pada kasihku yang semula pada-Nya, semampu yang mungkin kulakukan. Sepenuh hatiku.
Disunting oleh: Berlin