Ironi tentang Salib
Tab primer
Ironi dari penyaliban Yesus adalah bahwa sesuatu yang sangat hina seperti salib yang sangat menjijikkan, sehingga orang menolak Manusia terbaik yang pernah hidup itu -- sesungguhnya Dia merupakan satu-satunya harapan kita untuk diselamatkan dari ketidakberdayaan rohani. Itulah yang dikatakan di dalam Alkitab. Dan itulah yang ditegaskan oleh Kristus ketika Dia bangkit dari kematian dengan penuh kemenangan. Salib bukanlah suatu kesalahan. Salib juga bukan malapetaka yang tiba-tiba menimpa kehidupan yang damai. Ironi tentang salib itu adalah salib merupakan contoh terbaik tentang kasih Allah dan dalam kematian, Kristus juga menunjukkan bagaimana seharusnya kita hidup.
Kematian Kristus Menunjukkan Kasih Allah
Kebenaran terbesar dari ayat Alkitab yang paling populer dan disukai adalah bahwa salib merupakan bukti kasih Allah.
"Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." (Yohanes 3:16)
Pesan yang serupa berbunyi, "Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita." (1 Yohanes 3:16)
Sebagian orang mencari kasih Allah di alam. Namun, mereka belum tentu puas bila mencarinya di sana, karena pesan yang disampaikan oleh alam ini terkadang saling berlawanan. Kadang kala alam menyatakan kepada kita bahwa kasih Allah itu begitu indah. Cahaya mentari yang hangat, rintik-rintik hujan, bunga yang bermekaran di padang, dan induk lembu yang sangat memerhatikan anak-anaknya, seolah-olah hendak berkata, "Allah itu kasih."
Namun di waktu yang lain, pesan alam menunjukkan kebalikannya. Terik matahari dan musim kemarau membuat tanah menjadi tandus dan tidak subur. Angin topan yang ganas tiba-tiba menderu di langit yang gelap. Anak-anak kelinci dibantai oleh kucing yang berburu pada malam hari atau serigala yang sedang mencari mangsa. Letusan gunung berapi menyapu seluruh desa, menewaskan ratusan orang, dan membuat ribuan orang kehilangan tempat tinggal. Tidak. Kasih Allah tidak selalu dapat dilihat lewat alam.
Kasih Allah juga belum tentu terlihat jelas lewat sejarah. Keluarga-keluarga imigran asal Vietnam atau Korea yang mengungsi ke Amerika akan berkata bahwa jika mereka bisa sampai ke Amerika Serikat, itu membuktikan bahwa Allah mengasihi mereka. Namun, apabila Anda berbicara dengan seorang ibu muda beranak tiga yang ditinggal mati oleh suaminya yang dibunuh oleh para pembajak pesawat, ia akan mencibir bila Anda mengatakan bahwa Allah yang penuh kasih itu mengendalikan segala peristiwa. Banyak orang Yahudi yang hidup di bawah bayang-bayang ketakutan pada masa kepemimpinan Auschwitz atau Dachau juga akan menolak pemikiran yang mengatakan bahwa kasih Allah itu ditunjukkan lewat sejarah.
Oleh karena itu, ketika orang Kristen berbicara tentang kasih Allah, mereka harus menunjukkan bukti lain. Menurut Alkitab, bukti itu adalah salib. Karena Yesus Kristus adalah Anak Allah, maka kematian-Nya merupakan pernyataan yang luar biasa tentang kasih Allah.
Allah telah menunjukkan kasih-Nya bagi kita -- dengan harga yang mahal. Dalam pribadi Yesus Kristus, Allah menjadi anggota keluarga manusia. Dia menjalani kehidupan-Nya tanpa dosa. Selanjutnya meski tidak berdosa, Dia harus mengalami kematian yang mengerikan demi keselamatan kita. Menembus kegelapan di Kalvari, hari yang sangat penting itu menunjukkan kasih Allah yang menakjubkan. Renungkan sejenak tentang penderitaan Kristus, dan ingatlah bahwa sesungguhnya kitalah yang harus menanggungnya.
Tunjukkanlah rasa hormat, tatkala Dia bergumul di hadapan Allah Bapa di taman Getsemani, hingga peluh-Nya seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah.
Rasakan ketakutan-Nya, tatkala Dia ditangkap seperti seorang penjahat, didera oleh cambuk orang Romawi, dianiaya, diolok-olok, dan diejek dengan dipakaikannya mahkota duri.
Menangislah untuk-Nya, tatkala Dia terhuyung-huyung membawa balok kayu yang berat. Dia dipaksa membawa kayu tersebut hingga ke tempat penghukuman-Nya.
Rasakanlah kengerian yang terjadi, tatkala prajurit Romawi memaku tangan dan kaki-Nya, serta dengan kasar menegakkan salib itu pada tempatnya.
Dengarkan bagaimana Dia, tatkala tergantung di atas kayu salib, berdoa bagi musuh-musuh-Nya, berbicara dengan penuh kasih kepada ibu-Nya, dan menjanjikan keselamatan bagi penjahat di samping-Nya yang mau bertobat.
Berdiam dirilah, tatkala Anda melihat langit menjadi gelap pada siang itu, dan perhatikanlah tiga jam kegelapan pada hari yang menakutkan itu.
Dengarkan seruan-Nya, ketika Dia merasa ditinggalkan, "Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?"
Ingatlah bahwa di atas kayu salib, Yesus menanggung segala kengerian neraka, bagi Anda dan saya. Allah adalah Bapa-Nya. Sebelumnya, dalam kekekalan Dia berada bersama-sama dengan Bapa-Nya dalam hubungan yang sangat erat yang tak dapat kita mengerti. Namun oleh Bapa, "Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah." (2 Korintus 5:21)
Kematian Kristus Menunjukkan Bagaimana Seharusnya Kita Hidup
Salib tidak hanya merupakan bukti terbesar dari kasih Allah, tetapi juga memberi kita sebuah prinsip rohani tentang kehidupan. Kasih yang memimpin Yesus Kristus pada tindakan pengorbanan diri yang tiada bandingnya ini merupakan teladan bagi kita.
Kita harus mengasihi sebagaimana Dia juga mengasihi, dan hidup sebagaimana Dia hidup. Sebenarnya Tuhan hendak menyinggung tentang salib pada suatu malam sebelum penyaliban, tatkala Dia berkata kepada para murid-Nya, "Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi" (Yohanes 13:34). Kasih Kalvari menjadi standar bagi kasih kita.
Yesus Kristus juga hendak berbicara tentang kematian di atas kayu salib tatkala Dia berkata:
"Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah. Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal. Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikut Aku." (Yohanes 12:24-26)
Inilah hukum penuaian: sebuah benih harus mati agar dapat menghasilkan sebuah tanaman. Yesus Kristus adalah "biji" yang harus mati. Kematian-Nya menghasilkan kehidupan rohani bagi semua yang percaya kepada-Nya. Kita adalah buah dari penderitaan dan kematian-Nya.
Akan tetapi hukum kematian yang membawa kehidupan ini tidak hanya berakhir pada salib Kristus. Yesus menyatakan bahwa hukum itu juga berlaku bagi para pengikut-Nya. Kita harus menempuh jalan salib, yaitu mematikan segala keinginan kita yang egois, apabila kita mau menghasilkan buah sesuai dengan kehendak Allah (Efesus 2:8-10).
Rasul Paulus melihat prinsip ini dalam kematian Kristus. Berulangkali ia mengatakan bahwa dirinya telah disalibkan bersama-sama dengan Kristus, mati terhadap dirinya sendiri, dan berjalan dalam jalan Kalvari. Dengan keyakinan penuh ia menuliskan, "Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia." (Galatia 6:14)
Bagi Paulus, salib merupakan sumber ilham dan kepercayaan, sehingga ia dapat menulis bahwa segala sistem dalam dunia ini hanyalah sesuatu yang sia-sia dan fana. Dunia tak memiliki sesuatu pun yang mampu menarik hati Paulus.
Apabila kita hidup menurut hukum penuaian, kita akan menghasilkan buah dalam pelayanan kita kepada Kristus. Untuk dapat mengikuti teladan-Nya, terlebih dahulu kita harus mati terhadap diri sendiri. Tatkala kita melakukannya, kita akan mampu berkata seperti Paulus, "Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku." (Galatia 2:19-20).
Inilah ironi dari salib, yaitu bahwa salib tidak hanya membawa kehidupan Allah kepada kita, tetapi juga membawa kehidupan kita kepada Allah.
Diambil dari:
Judul asli buku | : | Why Did Christ Have to Die? |
Judul buku terjemahan | : | Mengapa Kristus Harus Mati? |
Penulis | : | Staf Penulis RBC |
Penerbit | : | Yayasan Gloria, Yogyakarta 1983 |
Halaman | : | 10 |