The Passions of Gethsemane
Tab primer
Pergumulan batin yang maha dahsyat yang dialami oleh Sang Juru Selamat dunia di Taman Getsemani, dikisahkan oleh ketiga penulis Injil Sinoptik dalam tulisan-tulisan mereka (Mat. 26:36-46; Mrk. 14:32-42; Luk. 22:39-46). Keseraman bayang-bayang maut yang begitu mengerikan membuat-Nya nyaris tak kuat menanggungnya sehingga Allah Bapa harus mengutus seorang malaikat untuk memberikan kekuatan kepada-Nya (Luk. 22:43). Mengapa Yesus harus memasuki pengalaman yang begitu dahsyat? "The Passion of Gethsemane" itu mengisyaratkan tiga keputusan penting yang harus dibuat oleh Tuhan Yesus demi keselamatan umat manusia. Tiga keputusan penting tersebut adalah (1) pilihan yang harus dibuat, (2) komitmen yang harus diikrarkan, dan (3) ketaatan yang harus dibuktikan.
PILIHAN YANG HARUS DIBUAT
Hidup bagi kehendak Allah adalah suatu pilihan. Orang bisa saja menolak untuk hidup bagi kehendak Allah, apalagi jika pilihan tersebut pada akhirnya akan membawa konsekwensi yang akan merugikan dirinya sendiri, bahkan menyebabkan kehilangan nyawa. Namun, teladan yang diperagakan oleh Yesus di Taman Getsemani menyatakan kepada kita bahwa Ia lebih mengutamakan kehendak Allah Bapa daripada popularitas semu yang ditawarkan dunia. Kepedihan jiwa yang sangat dalam serta kesengsaraan fisik yang belum pernah dialami dalam kehidupan-Nya di bumi membuat-Nya begitu gentar dan takut sehingga Ia meminta ketiga murid-Nya yang terdekat, Petrus, Yakobus, dan Yohanes, berjaga di dekat-Nya (Mat. 36:38; Mrk. 14:33-34). Bahkan Lukas menambahkan bahwa karena ketakutan, Ia makin sungguh-sungguh berdoa sehingga "peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah" (Luk. 22:44).
Pertanyaan yang muncul, "Mengapa Yesus merasa begitu takut dan gentar?" Jawabannya adalah karena Ia menyadari bahwa hidup-Nya yang suci, tanpa dosa, sebentar lagi akan dikontakkan dengan kecemaran dan kenajisan dosa dunia yang sekaligus akan melahirkan kenyataan ditinggalkan oleh Allah Bapa. Yesus tidak bermaksud untuk menolak cawan murka Allah, tetapi doa-Nya menyatakan penyerahan diri-Nya kepada kehendak Bapa-Nya. Dengan demikian, Yesus telah membuat pilihan untuk menerima kehendak Bapa-Nya walau harus kehilangan nyawa sekalipun.
KOMITMEN YANG HARUS DIIKRARKAN
Dalam narasi Matius dan Markus, tercatat tiga kali Ia berdoa (Mat. 26:42, 44; Mrk. 14:39, 41). Namun, Matiuslah yang mencatat isi doa yang kedua dan ketiga yang melukiskan penyerahan diri Yesus untuk memenuhi misi yang dimandatkan Allah Bapa kepada-Nya, yaitu menjadi Anak Domba Allah yang mengangkut dosa isi dunia. Doa tersebut berbunyi, "Ya Bapa-Ku, jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu" (Mat. 26:42). Doa yang kedua yang kemudian diulangi pada ketiga kalinya mengindikasikan kesadaran Yesus bahwa cawan murka Allah itu tidak akan berlalu dari-Nya kecuali Ia harus meminumnya karena itulah kehendak Bapa-Nya. Suatu afirmasi bahwa kehendak Allah harus terlaksana, berapa pun harganya. Karena itulah yang terbaik; bukan untuk diri-Nya, tetapi untuk keselamatan umat manusia. Ini adalah ikrar bahwa kehendak Allah ada di atas segala-galanya.
KETAATAN YANG HARUS DIBUKTIKAN
Tuhan Yesus membuktikan pilihan dan ikrar-Nya melalui ketaatan tanpa kompromi. Penderitaan yang Ia alami dari Taman Getsemani sampai Golgota diterima-Nya dan itu adalah bukti ketaatan-Nya kepada Bapa-Nya. Semua perlakuan manusia itu, tidak mampu menghentikaan langkah-langkah ketaatan-Nya. Akhirnya, dengan seruan "tetelestai" [bahasa Yunani -- Red.], "sudah selesai", ketaatan-Nya membuahkan keselamatan bagi umat manusia.
NILAI PRAKTIS
"The Passion of Gethsemane" mengingatkan kita bahwa kehendak Allah adalah di atas segala-galanya. Untuk mewujudkan kehendak Allah, umat Tuhan harus membuat pilihan untuk setia kepada Yesus, mengikrarkan janji kesetiaan-Nya, dan taat melakukan segala kehendak-Nya dengan mewujudkan Amanat Agung.
Sumber:
Nama buletin: Getsemani, No.1 Volume 1, September 2006
Judul artikel: The Passion of Gethsemane
Penulis: Pdt. Dr. Librech Anthony. Th.M
Penerbit: STT Getsemani, Yogyakarta 2006
Halaman: 1 dan 3