Memberi Diri
Tab primer
Melalui salah satu renungannya di dalam buku "My Utmost for His Highest", Oswald Chambers berkata, "Hidup-Nya (Yesus) merupakan kegagalan mutlak dilihat dari setiap sudut pandang. Namun, hal yang tampaknya berupa kegagalan dari sudut pandang manusia justru merupakan kemenangan dan sudut pandang Allah, karena maksud Allah tidak pernah sama dengan maksud manusia." Bagi dunia yang sangat menjunjung tinggi kesuksesan materi, popularitas, kemampuan dan kekuatan diri, serta pencapaian prestasi, tentu saja kisah kehidupan Yesus tidak akan menjadi sebuah referensi dari sebuah kehidupan yang berhasil. Ia hanya seorang guru yang berkelana dari satu tempat ke tempat lain, memiliki beberapa murid yang tidak bisa dibilang terpandang reputasinya, tidak populer di kalangan penguasa dan golongan berpengaruh kaum Yahudi, tidak mempunyai rumah atau daftar investasi yang panjang, ditolak di tempat asal-Nya sendiri, bahkan tidak mampu untuk membela diri-Nya sendiri. Kematian-Nya yang tragis di kayu salib kian menambah daftar kegagalan-Nya, yang bagi manusia pada zaman ini justru merupakan suatu bukti nyata akan ketidakberdayaan.
Namun, ada yang dilupakan oleh dunia. Yesus memang tidak memiliki semua ukuran yang kita sebut sebagai kesuksesan itu, tetapi Dia memberi diri-Nya. Yah, memberi diri, sebuah esensi yang tidak kita miliki, yang justru menampakkan betapa miskin, lemah, dan tidak berdayanya kita. Kejatuhan manusia di dalam dosa membuat manusia terpuruk dan berusaha untuk mengatasi kekosongan dan ketidakberdayaan di dalam dirinya dengan hal-hal yang hampa dan bersifat fana. Namun, uang, kuasa, kekuatan, pengakuan, dan segala pencapaian manusia tidak akan pernah mampu mengisi kekosongan dan kerinduan manusia yang terdalam. Kita membutuhkan Allah, dan hanya Yesus yang mampu menyediakannya. "Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah." (Yesaya 53:4). Dengan memberi diri, Yesus sesungguhnya tidak hanya menyatakan betapa berkuasa dan berdaya diri-Nya. Kematian-Nya di kayu salib menjadi sebuah epic yang menunjukkan kepada manusia bahwa kasih Allah merupakan hal paling berharga di dalam kehidupan ini. Kasih, dalam bentuk pemberian diri, adalah pencapaian tertinggi yang pernah dilakukan oleh seorang manusia di dalam diri Yesus.
Stefanus, Petrus, Paulus, Lukas, Martin Luther, John Huss, Dietrich Bonhoeffer. Nama-nama itu hanya sebagian kecil dari pengikut-Nya yang kemudian hidup dengan meneladani diri-Nya dalam menyangkal diri, memikul salib, memberi diri. Mereka sesungguhnya juga miskin seperti kita dan sangat membutuhkan anugerah Allah. Namun, dibanding tergiur untuk mengisi kemiskinan dan kegagalan jiwa mereka dengan menggapai apa yang dunia tawarkan, mereka justru mengambil langkah sebaliknya. Mereka memberi hidup dan diri mereka agar dapat dipakai untuk melaksanakan rencana Allah, meski akhirnya harus menuai resiko pedih. Kematian. Sama seperti Kristus, hidup mereka akhirnya menjadi persembahan yang harum di hadapan Allah, yang memuliakan dan merefleksikan kehadiran Allah dengan menggemakan pesan, "Kristus hidup di dalamku!".
Dalam dunia yang suram, yang egois, dan yang hanya berpikir bagi dirinya sendiri seperti saat ini, akankah kita menanggapi panggilan Allah untuk mengikuti-Nya dan memberi diri bagi-Nya? Kita tidak perlu menjadi martir atau mempertaruhkan nyawa dalam menyediakan diri bagi-Nya. Menjadi garam dan terang di mana kita ditempatkan, mengabarkan Injil kepada mereka yang membutuhkan, merefleksikan kasih Kristus di dalam kehidupan sehari-hari, atau berbagi hidup dengan sesama dan mereka yang membutuhkan merupakan sebagian hal yang dapat kita lakukan untuk mempersembahkan hidup kepada-Nya. Pertanyaanya sekarang menjadi, maukah kita?
Kiranya kasih Kristus yang melampaui segala akal akan memampukan kita untuk memberikan hidup yang sungguh membawa kemuliaan bagi nama-Nya. Amin.